SIWARATRI: KITA SEMUA ADALAH PEMBURU

14 01 2010

(dari Mimbar Hindu di TVRI Sul-Sel)

Om Swastyastu…

 Mengawali tahun 2010, umat Hindu, khususnya di Sulawesi Selatan, memperoleh kesempatan untuk mengisi Mimbar Agama di TVRI Sul-Sel, tepatnya 12 Januari 2010, sebuah momen yang telah lama tiada. Angayubagia ke hadapan Hyang Widhi Wasa atas waranugraha ini.  Sebuah waranugraha yang sangat bermakna dan bernilai.

 Momen ini disambut hangat oleh lembaga keumatan di Sul-Sel. Kebetulan juga akhir tahun 2009 lalu, PHDI Sul-Sel telah membantuk satu lembaga yang khusus akan menangani manajemen informasi keagamaan Hindu. yaitu BPH (Badan Penyiaran Hindu) Sul-Sel.

 Kembali kepada mimbar tadi, temanya adalah Siwaratri. Tema ini diambil mengingat bulan Januari ini terdapat satu hari suci, ya Siwaratri, yang jatuh pada tanggal 14 januari 2010.

 Siwaratri terdiri atas dua kata, Siwa dan ratri (malam), atau malam payogan Hyang Siwa.

Siwaratri didasari oleh beberapa Purana, di antaranya adalah Siwa Purana, Garuda Purana, Skanda Purana, dan Padma Purana.  Satu lagi sumber yang senantiasa dijadikan rujukan perayaan Siwaratri adalah Lontar Siwaratrikalpa, karya Sulinggih yang kita sucikan, Mpu Tanakung.

Dalam sumber-sumber di atas, semuanya menggunakan simbol pemburu, yang pergi berburu pada saat hari Siwaratri. Lalu kesasarlah sang pemburu, sampai malam hari, tidak mendapat satu pun hewan buruan. Karena takut pulang, sang pemburu memutuskan untuk tetap tinggal di hutan tersebut. Kemudian, karena takut akan binatang buas, maka naiklah sang pemburu ke atas pohon bilwa (bila, maja). Sambil menunggu siang, sang pemburu memetik-metik daun bila, yang jatuh di atas Siwalingga, yang kebetulan berada pas di bawah pohon tersebut.

Jika kita bawa ke dalam kehidupan manusia, memang benar, bahwa kita semua adalah pemburu. Ada yang berburu harta. Apakah sekadar untuk menyambung hidup atau untuk lebih dari itu. Ada yang berburu jabatan, berburu keinginan, berburu kesenangan, berburu penghargaan, dan sebagainya. Semua jenis “buruan” itu diliputi oleh berbagai nafsu/kama, yang di dalam agama Hindu adalah salah satu musuh yang ada bersemayam di dalam diri manusia. Semua jenis nafsu itu adalah binatang buruan manusia, yang dalam berbagai purana tadi disebut dengan berbagai nama, salah satu yang paling dikenal adalah Lubdhaka.

Binatang-binatang yang berwujud nafsu dan berbagai keinginan inilah yang tiada henti diburu oleh manusia kini. Hutannya bisa jadi hutan betulan atau bisa juga hutan beton. kadang-kadang keinginannya terpenuhi, kadang-kadang tidak. Jika tidak terpenuhi, manusia kini yang tak mampu menguasai dirinya akan memanggil binatang lainnya seperti kemarahan, kebencian, iri hati. Bahkan ada yang menyebut nama binatang yang tak patut diburu: anjing, bangsat (kutu busuk), dan sebagainya. Yang lebih parah lagi, ada yang mengakhiri hidupnya sebagai manusia, dengan cara memaksa dirinya mati.

Manusia yang disimbolkan sebagai Lubdhaka tadi, lebih bisa diterima “jalan keluar” dari kegagalannya berburu. Dia hanya memetik-metik daun bila. Tidak mengamuk, marah, benci, apalagi mau bunuh diri, karena kegagalannya. Dia tidak melakukan hal itu.

Di zaman kali ini, sepatutnya kita lebih memusatkan diri untuk memerangi musuh-musuh yang bersemayam dalam diri kita, yang biasa disebut dengan sad ripu (enam jenis musuh). Keenamnya yaitu: kemarahan, kelobaan, kenafsuan, kemabukan, iri hati, dan keculasan. Keenamnya itulah yang akan menjerumuskan diri kita ke dalam jurang, jurang kesengsaraan, jurang kepapaan, jurang kenistaan, dan sebagainya. Bhagawadgita menyatakan itu sebagai pintu masuk ke neraka loka.

Memerangi musuh-musuh di atas, bukanlah sesuatu yang mudah. Luar biasa sulitnya. Kemarahan, jika muncul dan tak bisa dikendalikan tunggu saja akibatnya, yang pasti akan merusak diri sendiri.  Kelobaan akan membuat seseorang lupa akan kehadiran orang lain dan juga dirinya. Kemabukan, yang jumlahnya 7 (sapta timira) akan semakin menjauhkan diri manusia dari jati dirinya yang sejati. Mabuk akan keremajaan, kegantengan atau kecantikan diri berapa lama akan bertahan? Kekayaan  bisa memberi  kebaikan, tetapi jika dilanda kemabukan terhadapnya akan membawa pemiliknya menjauh dan makin menjauh dari dirinya.  Mabuk akan keturunan (bangsawan atau anak pejabat misalnya) makin menyempitkan nilai kemanusiaannya, yang bisa jadi akan merendahkan orang lain. Silahkan diteruskan dengan mabuk-mabuk lainnya, apa akibat yang bisa jadi melanda diri manusia.

Dengan mendekatkan diri kepada Hyang Siwa melalui hari suci Siwaratri ini, astungkara, kita akan mampu menghindari musuh-musuh di atas. Jalan pengendalian diri menjadi jalan yang bisa ditempuh. Melihat ke jauh ke dalam hati, jauh dan jauh, akan ditemukan sesuatu kita bersihkan sthana-Nya. Walaupun jauh, sebenarnya sangat dekat.  Mari kita bersihkan sthana Hyang Siwa di dalam hati kita. Mari kita sucikan tempat Beliau, agar Beliau berkenan hadir dan senantiasa bersemayam di sana. Hati kita adalah Pura bagi-Nya. Dengan membersihkan dan menyucikan pura kecil dalam diri kita, sinar suci Beliau akan makin terang bagi kita dan secara perlahan-lahan mampu mengusir embun sad ripu (enam jenis musuh) yang melekat. Dengan begitu, kesadaran akan jati diri kita semakin tumbuh, tumbuh dan berkembang menjadi sebuah kesadaran yang nyata. 

Pada suatu kesempatan IBG Agastya menyatakan bahwa: kata kunci dalam kitab-kitab Purana tersebut di atas adalah turu (tidur), tutur (sadar), papa (kesengsaraan), dan punia (pembebasan, kemuliaan). Oleh karena itu, ajaran Siwaratri adalah ajaran universal yang mengingatkan manusia pada hakikat dirinya adalah suci, dan Siwaratri harus dilaksanakan dalam suasana penuh kesucian, dengan melakukan pemusatan pikiran kepada Hyang Siwa yang mahasuci. Inilah hakikat ”perburuan manusia”, yang dimaksud dalam ajaran Siwaratri.





PIKIRAN, HATI, DAN TINDAKAN

16 12 2009

Pikiran adalah kendali manusia. Pikiranlah yang membedakan manusia dengan mahluk lain. Kata  manusia-pun berasal dari kata manah, yang sama dengan atau artinya pikiran itu.  Jadi manusia tanpa pikiran atau yang tidak menggunakan pikiran dalam berkata dan bertindak kadar perbedaannya dengan mahluk lain agak tipis.

Hati adalah pusat kendali kebenaran tindak dan pikiran manusia. Hati adalah tempat bersemayamnya Sang Diri. Dari lubuk hati akan terdengar suara murni. Suara yang menyatakan kebenaran sejati. Ia menjadi penerang jalan kehidupan, kalau manusia mau menggunakannya. Manusia yang senantiasa mendengarkan suara dari hatinya, ia akan menikmati kedamaian. Damai secara vertikal ke atas, dengan Yang Maha Kuasa dan juga damai secara vertikal ke bawah; dengan mahluk hidup lain dan lingkungan tempatnya berada. Terlebih lagi ia akan merasa damai secara horizontal, dengan sesamanya.

Perbuatan manusia akan dituntun oleh hati dan pikiran. Pikiran yang memerintahkan seluruh elemen penggerak dalam diri manusia untuk melakukan sesuatu. Apapun isi perintah keduanya (hati dan pikiran) maka demikianlah tindakan yang terjadi. Kualitas tindakan manusia sangat bergantung pada kualitas perintah keduanya. Benar atau salahnya ditentukan oleh penilaian pikir. Baik atau tidaknya berada di bawah wewenang hati.

Sekarang tinggal memilih mana yang dilakukan. Mau yang benar dan baik ya… berarti ia berada di balik kendali hati dan pikir yang positif. Bila yang dilakukan adalah yang tidak benar dan yang tidak baik, berarti sang diri itu berada di bawah kendali sisi negatif hati dan pikir tadi.

Di sinilah persoalannya. Sebenarnya sang diri ini tahu mana yang benar dan baik, mana yang boleh dan tidak boleh. Hanya saja, ada pihak ketiga yang senantiasa menggoda hati dan pikiran ini untuk mengikuti ajakannya. Pihak ketiga (tidak ikut-ikutan arus memilih istilah ini kok) ini disebut dengan ego. Egolah yang senantiasa mengajak sang diri untuk mengikuti keinginannya, yang kadang-kadang bertolak belakang dengan keinginan pikiran dan hati. Ego mengajak pemiliknya untuk memiliki apa saja di luar dirinya.

Oleh karena itu, si ego ini sudah semestinya selalu berada di bawah kendali hati dan pikiran yang baik dan benar, agar ia tak menjadi liar ingin memiliki segala sesuatu yang bukan menjadi haknya.

Namaste…

Makassar, 16 Desember 2009





KERJA TANPA BERHARAP

15 12 2009

Siapapun yang mengendalikan komponen indra dengan pikirannya, dan tanpa keterikatan organ-organ tubuhnya, bekerja hanya demi pekerjaannya, maka ia disebut berhasil. (BG. III.7)

Dalam karma-yoga, kita diajak untuk melakukan karma atau pekerjaan kita sesuai dengan kewajiban kita semata. Pelaksanaan kewajiban itu semestinya tanpa keterikatan secara duniawi. Kita bekerja sebenarnya karena demi dan untuk-Nya, untuk menjalankan hukum kerja yang telah diciptakan-Nya itu. Tak seorang pun dapat mengingkari hukum kerja ini. Seseorang (kita) dibuat tak berdaya.

Oleh karena itu melakukan kewajiban dan kerja itu hendaknya tanpa pamrih, tanpa rasa memiliki, atau ego atau imbalan. Mari kita sadar bahwa apapun yang dikerjakan adalah manifestasi atau perwujudan bhakti kepada Yang Satu itu, Yang Abadi selama-lamanya.

”Lakukan pekerjaan yang telah menjadi kewajibanmu, karena bekerja adalah lebih baik daripada tidak bekerja, bahkan ragamu saja tak mungkin terpelihara tanpa suatu aktivitas. Aktivitas adalah lebih baik daripada bermalas-malas tanpa suatu pekerjaan. Jika, kita duduk-duduk saja tanpa bekerja, maka raga atau badan kita bisa sakit karenanya”. (BG. III.8)

Menghindari kerja dan kewajiban adalah menghindari hukum kerja itu sendiri dan juga hukum abadi (rta). Badan ini pun terpelihara karena karena suatu kegiatan atau kerja. Makan adalah suatu kerja, bahkan bernapas pun adalah suatu kerja. Bagaimana bisa memelihara badan kasar ini bila kita berdiam diri? Badan ini perlu suplai nutrisi. Nutrisi diperoleh dari makanan. Makanan diperoleh dengan mencari bahannya. Bahannya diolah sedemikian rupa, sehingga siap disantap. Semua itu berasal dari kegiatan kerja.

Kerja itu mengikat semua mahluk hidup, tanpa terkecuali. Percaya atau tidak seseorang itu akan terkena ikatan itu. Sebagai contoh: seseorang pasti mengalami rasa lapar. Untuk mengatasi lapar inilah tak seorang pun bisa berdiam diri. Dia akan berusaha mencari makanan yang bisa dimakannya. Dalam proses pencarian inilah kerja itu berlangsung.

Pemenuhan kebutuhan hidup menjadi proses yang tiada henti bagi manusia. Ia bekerja terikat dan terkait dengan itu. Keterikatan itu akan terus melekat, yang menjadikan kita berputar-putar di lingkaran hidup.

”Pekerjaan merupakan suatu keterikatan di dunia ini, kecuali kalau dilakukan demi pengorbanan (demi Yang Maha Kuasa). Seyogyanyalah, dikau aktif untuk pengorbanan ini, bebas dari segala keterikatan”. (BG. III.9)

Setiap manusia di dunia ini telah terkurung oleh pekerjaan, dan setiap orang sibuk dan menjadi budak dari pekerjaan ini. Untuk menghindari keterikatan ini, kita dianjurkan agar tidak menjadi budak dari pekerjaan-pekerjaan ini. Kita dianjurkan untuk bekerja demi Yang Maha Esa semata, bukan untuk diri sendiri. Apapun yang kita lakukan itu sebagai persembahan kepada-Nya. Kita menyerahkan diri agar ”digunakan” oleh-Nya sebagai alat untuk menjalankan hukum-Nya memelihara dunia ini.
Dengan kata lain secara mental kita berpikir bahwa semua pekerjaan atau kewajiban yang dilakukan sebenarnya hanyalah untuk Dia semata. Dengan demikian kita bisa bekerja dan merencanakan sesuatu secara tanpa keterikatan duniawi. Dengan perasaan mental seperti ini akan timbullah suatu rasa kebebasan dari hal-hal yang bersifat duniawi, karena semua hasil akhir juga diserahkan kepada-Nya untuk diolah dan ditentukan akibat-akibatnya, atau hasil maupun buahnya, seperti apapun itu.

Pada sloka di atas ada kata-kata, lakukan pekerjaanmu demi pengorbanan ini. Yang dimaksud dengan pengorbanan ini adalah yadnya. Menurut Shankara, ahli dan filsuf Hindu yang terkenal di masa silam, yadnya dapat berarti Vishnu, Sang Maha pengasih. Yadnya dengan demikian disimpulkan sebagai Yang Maha Esa dan juga pengorbanan untuk Yang Maha Esa.

Kemudian mungkin timbul pertanyaan, pekerjaan apakah yang dapat disebut sejati? Semua pekerjaan yang bermotifkan dedikasi atau semata untuk Yang Maha Esa adalah pekerjaan yang sejati. Pengorbanan selalu berarti “mengorbankan diri sendiri untuk orang atau hal lain,” dan berkorban berarti menemukan diri sendiri yang sejati; tuluskah diri ini, atau masih tertutup oleh hawa-hawa nafsu dan ego atau berbagai kepentingan yang mengarah pada diri sendiri?





Munafik

14 12 2009

Seseoranq yang nampak tenang, yang seolah-olah tidak bertindak apapun dengan organ-organ sensualnya (indra-indranya), tetapi di dalam benaknya yang terpikir justru obyek-obyek sensual (duniawi), orang yang kacau dan dalam kegelapan ini disebut orang yang munafik. BG.III.6

Perbuatan atau karma adalah suatu hal yang tak terelakkan lagi bagi manusia yang hidup; manusia bahkan tak bisa hidup dengan baik kalau tidak bertindak atau bekerja. Hidup berarti bekerja, bertindak atau berbuat atau berpikir.

Tidak-bekerja yang sejati adalah dengan tidak berpikir tentang hal-hal yang negatif mengendalikan indra-indra kita dan mematikan ego kita pribadi. Ego itu selalu menghubungkan setiap tindakan kita dengan “aku” dan “punyaku”. Oleh karena itu menyerahkan secara total semua bentuk ego, cinta, dan segala keterikatan kita kepadaNya adalah bekerja dalam tidak bekerja.

Mengelak dari pekerjaan adalah suatu hal yang tidak mungkin. Mata kita tak dapat bekerja selain melihat. Kuping atau telinga tak dapat bekerja lain selain mendengar. Kulit di badan kita tak dapat bekerja selain merasakan. Otak kita tak dapat bekerja selain berpikir. Jadi mau tak mau seseorang harus bekerja atau bertindak sesuai dengan karmanya. Seandainya kita tidak mau bekerja dan ingin duduk diam saja sebagai patung, maka bukankah kita juga telah bertindak sebagai patung? Dengan mengelak dari tindakan/aksi, kita tak akan pergi ke jalan penerangan/kesempurnaan.

Dalam “alam” ini ada tiga chakra atau tiga pusat energi. Dari ketiga pusat ini datanglah pekerjaan-pekerjaan untuk badan kita secara otomatis tanpa kita sadari. Ketiga chakra ini dengan kata lain disebut sifat sattva, rajah dan tamah yang merupakan pusat-pusat dari aksi kita masing-masing. Masing-masing unsur itu silih berganti menguasai diri kita. Dan sekiranya di luar badan kita, kita dapat mengendalikan semua unsur-unsur indra kita, tetapi dalam benak kita justru tak dapat lepas dari selera-selera duniawi ini, maka orang semacam ini disebut sebagai manusia yang munafik.

Contoh: seorang yang sering berbicara tentang kesucian, misalnya, yang sehari-hari nampak bertindak suci, tetapi sekali dihadapkan pada hal keduniawian seperti harta, wanita cantik, sekali itu hati dan pikirannya tergoda memiliki atau menikmatinya. Walaupun mungkin ia tidak bertindak lebih lanjut, tetapi itu sudah menunjukkan betapa tindak-tanduknya sudah tidak sesuai dengan hati dan pikirannya. Inilah yang disebut munafik, karena tidak jujur pada diri dan juga masyarakat sekelilingnya, apalagi kepada Yang Maha Esa.
Organ-organ sensual kita (indra-indra) adalah sebagian dari prakriti, begitu pun pikiran-pikiran kita. Untuk menjalani hidup yang sejati ini kita harus dapat menaklukkan bukan saja indra-indra kita, tetapi juga pikiran kita, dan itu berarti menaklukkan prakriti itu sendiri secara tidak langsung.

Salah satu contoh yang baik untuk mengalahkan avykta ini adalah dengan tinggal bersama-sama dengan seorang suci. Juga sebaiknya setiap orang tidur dikamarnya masing-masing yang dilengkapi dengan gambar-gambar orang-orang suci, dewa-dewi, dan ayat-ayat suci. Mengoleksi buku-buku suci dan membakar wewangian untuk pujaan. Sebelum tidur bermeditasilah, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang positif dan suci seperti mantram-mantram suci, atau pikiran terfokus pada suatu dewa tertentu, atau pada sang guru, dan lebih baik lagi kalau dapat memfokuskan diri pada Sang Atman, atau secara langsung berkikir tentang Brahman (Tuhan Yang Maha Esa).





Hasil Perbuatan (Karma Phala)

9 12 2009

Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan dengan hanya berpasrah diri. (BG. III.4)